Wednesday, September 12, 2012

Bukan cinta yang salah



Jangan pernah kau ragukan
Ketulusanku dengan
Memilah salah
Berhentilah terus menilai
Isi hatiku sebatas hitam putih

Kamu tidaklah sempurna
Sungguh begitu juga aku
Kita hanyalah manusia
Jangan pernah lupakan
Percaya akan aku
Tak ingin ku menyakiti
Bila ada yang luka
Bukan cinta yang salah

Ini bukanlah tentang harus memiliki
Atau hanya sekedar ingin dicintai
Janganlah kau slalu
Memanjakan egomu
Tentu kau akan mengerti
Bukan cinta yang salah

Bunga Tidur



Tidurmu malam ini selembut apa
Pejamkan mata matikan resah
Biarkan imaji melintas deras
Menghujanimu dengan butiran mimpi

Bila dingin mengusik mimpi indahmu
Jadikan ku lilin bakar diriku
Kan kuhangatkan hatimu sebisanya
Hingga kau lelap di selimuti cinta

January 30, 2004

Bosan



 Apa yang kupikirkan, adalah apa yang terasa. Apa yang kulakukan adalah apa yang kuinginkan. Tapi seberapa jauh aku memikirkan dan menginginkan. Aku tak pernah tahu. Aku tak mengenal lagi siapa aku. Seakan hidup dalam tubuh yang tak kukenali wujudnya sendiri. Aku marah, aku kecewa, tapi pada apa dan pada siapa aku tak tahu. Apakah marah yang marah atau marah yang resah ? Kupupuk benci kutanam gelisah. Kusuburkan semua dendam dan benci.  Kebencian yang tulus, kemarahan yang terabaikan. Kecewa pada apa ? Marah pada apa ? Marah pada marah yang tak terjemahkan. Hatiku sepi, jiwaku beku. Apa marah cairkan resah atau marah gumpalkan dendam ? Caci diri sendiri lalu mengasihani.  Murka pada kemunafikan yang dijalani. Dosa yang dinikmati. Dosa yang dihormati. Dimana arah ? Dimana peta ? Penyangkalan buahkan bimbang. Pembenaran hanya sekedar dusta murahan. Ucap kata tak lagi bermakna, hanya siulan hati yang ragu, hanya jawaban yang beranak tanya. Tanya yang patah, tanya yang asal keluar. Menanyakan apa yang sudah terjawab. Mempertanyakan jawaban. Tanya tak membutuhkan jawaban. Tanya hanya mengharapkan keajaiban. Tanya adalah ilusi. Tanya adalah kesia-siaan. Tanya adalah hati yang pasrah bercampur putus asa. Pada siapa harus mengadu. Pada siapa harus bertanya. Sementara jawab hanya terjawab oleh terka. Kenyataan yang dipertanyakan. Kenyataan yang tak bisa diterima. Kenapa harus nyata bila ada hal lain yang mungkin. Kenapa harus benar bila ada yang tak perlu pembenaran. Lurus atau melenceng, apa hanya perkara dapat atau kehilangan. Berapa waktu harus ditempuh ? Berapa tanya harus terjawab, berapa siksa harus didera. Darah dibayar darah, luka dibayar nestapa. Apakah semua cuma tentang balas dendam ? Apakah semua cuma tentang timbal-balik ? Lalu mengapa tercipta kata adil, keadilan, mengadili atau diadili ? Dimana kebebasan jika belenggu ditawarkan ? Dimana kebebasan jika balasan diancamkan ? Dimana kebebasan jika tak pernah ada kebebasan. Dimana ?

Perlahan kulangkahkan semua harap, dan semua yang belum terungkap. Disekitarku tawa saling memaki, senyum hampa penuhi udara, atmosfir yang pekat, penuh dengan bau busuk yang khas. Busuknya luka, busuknya kebohongan, busuknya harapan yang digerogoti oleh belatung-belatung berwarna putih kekuningan, yang dengan rakus melahap sisa-sisa harapan rombeng yang penuh tambalan disana-sini. Tidak ada lagi pekik kemenangan. Tidak ada lagi air mata yang mengalir seiring dengan rasa sakit yang tak terperi. Hanya kebisuan. Pasrah dari segala pasrah manusia. Diam yang diam. Harapan yang tanpa harap. Sesekali terdengar isakan perlahan. Tapi tidak ada air mata. Yang ada adalah cairan hitam busuk yang mengalir disela mata. Deras turun membasahi pipi, hidung, lalu bertemu dengan mulut yang sama busuknya. Tubuh-tubuh telanjang. Daging-daging yang lapar. Jiwa-jiwa yang rapuh. Langkahpun kini kian tak berarah. Antara maju, mundur atau diam statis. Seperti jalan ditempat tapi tak bergerak. Perintah otak yang cacat saat diterjemahkan oleh sensor motorik. Informasi cacat itu mengendap di Amigdala. Sang sumber segala takut. Segala siksa.

Aku hanya ingin rebah sejenak. Lalu rebahlah. Diatas rumput kering. Kucari tempat yang bebas dari tahi, dari lalat, atau benda-benda yang mengingatkanku pada bau keringatnya. Awan mendung lindungi dari matahari. Sisa cahayanya yang menembus awan hanya mampu menuduh lemah. Kuberanikan diri menatap tegak keatas. Takut yang nyata merayap. Langit biru seperti samudera maha luas. Siap menenggelamkan siapa saja yang tak punya pegangan. Tak ada pelampung penyelamat. Nafasku terasa sesak dan nyeri. Tubuhku menggigil, lagi-lagi karena takut yang janggal. Hanya beberapa menit kusanggup menantang langit. Aku terisak. Merasa kecil dan kalah. Kecewa pada kelemahan mata. Mata yang selalu mencari, mata yang selalu mengimpi. Mata-mata yang haus warna, yang mulai bosan dan usang dengan segala yang hitam-putih. Putih bukanlah lambang kesucian, putih hanyalah kalah dan tanpa sikap, munafik. Lihatlah hitam. Kepekatannya begitu nyata. Menghisap semua cahaya kearahnya. Hitam bukan kelembutan yang lemah. Berilah setetes warna putih maka kan tertelan musnah. Atau banjiri dengan luapan putih, takkan hilang hitam, putih akan keruh, abu-abu dengan nuansa hitam yang tak pernah lenyap. Hitam adalah keabadian. Hitam adalah selimut. Hitam tak kenal basa-basi. Hitam adalah berani jujur meski dicap terkutuk.

Aku kembali melangkah, kepalaku pusing, nafasku sesak, ribuan pertanyaan melawan sejuta kenyataan. Aku harus tetap melangkah, karena mungkin dalam hidup, manusia harus tetap melangkah, entah itu bertujuan atau tanpa arah, tetap melangkah, meski buta dan tanpa peta. Mungkin kelak kita berhenti sesaat, sekedar untuk kumpulkan semua kekuatan dan keyakinan, untuk selanjutnya kembali melangkah, entah langkah yang tegak, atau langkah tertatih, meski harus ngesot sekalipun. Hingga saatnya kita nanti berhenti karena kematian menghampiri. Ada juga orang-orang yang mendahului kematian, orang-orang yang bertumpu pada kecewa dan putus-asa, mereka berhenti melangkah, mulutnya memaki keras pada langit hingga suaranya parau, lalu mereka menangis, bertanya-tanya pada kenyataan yang tak berpihak. Mengutuk mimpinya yang tak kunjung nyata. Mengutuk roda-roda nasib yang tersendat tak bergeming, menghimpitnya dibawah duka nestapa. Tatapan matanya kosong, seperti mengimpi tentang kematian yang enggan menghampiri. Doa mereka sama, doa-doa kosong.. Menantang Izrail tuk mencabut nafas terakhir, tapi saat nafas terakhir sudah ditenggorokan, beberapa dari mereka diserang ketakutan yang sangat hebat, jiwa mereka bergetar gentar. Kematian bagi jiwa-jiwa seperti mereka tak mendatangkan damai. Kematian mereka tanpa keyakinan, mati dalam keadaan bosan. Sesal menambahkan luka-luka yang dalam, bahkan saat hidup itu sendiri telah pergi. Dan tak ada jalan untuk kembali.

Aku tersentak dari pikiran tentang kematian. Seperti tertampar oleh kenyataan bahwa aku mungkin bagian dari orang-orang yang akan mati bosan. Aku bergidik. Matahari kini tepat diatas kepala. Cahayanya membakar kulitku yang tak terlindungi. Aku tak menantang matahari, aku hanya mencari Tuhan. Aku ingin mengadu, aku ingin bertanya. Seperti Musa di gunung Sinai, yang gemetar karena tak mampu berhadapan dengan keberadaan-Nya. Apakah jiwa yang resah adalah domba-dombaNya yang sesat, atau jiwa-jiwa yang resah adalah jiwa-jiwa pemimpi, yang diberkati untuk mencium nafas surgawi lalu jatuh dalam kerinduan yang dalam. 

 April 19, 2007

Suatu malam tanpa bintang



Aku ingin memelukmu saat ini manisku. Membisikkan syair dan puisi tentang kita, tentang cinta, tentang dunia bahkan tentang ketiadaan. Malam ini terasa mistis, aku merasa jarak antara kita hanyalah setipis ilusi. Seakan kau ada disampingku, dengan tatapan itu, dengan senyum itu, dan kau pun tersipu saat kutatap lekat, saat ku mencoba menembus kedalaman jiwamu. Semua terasa hangat sayang, perasaanku tak lagi bersekat. Aku ingin menumpahkan kata cinta tanpa kelu, aku ingin mengungkapkan rasa sayang tanpa ragu. Aku ingin menjadi malaikat bagimu manisku, seperti dirimu, malaikatku yang tanpa henti menghujaniku dengan  inspirasi tiap hari. Aku ingin remas jemarimu, untuk meyakinkanmu bahwa aku ada. Aku ingin ada disampingmu malam ini, duduk ditepi tempat tidurmu, menatapmu saat kau lelap tidur, menggenggam tanganmu, terbata tanpa kata saat memandangi seulas senyummu.

            Kamu tahu manisku, malam ini mataku berkaca-kaca, mengingatmu membuatku luluh. Tulisan ini mengalir mewakili air mata yang ingin mengalir. Tapi aku ingin menjadi kuat dihadapmu, tak ingin ada airmata, meski itu airmata bahagia, malam ini aku hanya ingin membayangkan saat kau membaca tulisan-tulisanku, tertawa lepas karenanya, alangkah sempurna hidupku jika tawa itu selalu ada. Manisku, apakah aku seorang pendusta, apakah aku telah mengkhianati tiap kata dengan kebohongan,jika kukatakan bahwa malam ini aku mencintaimu tanpa ragu.
240606 

Tak bisakah waktu membeku



Tak bisakah waktu membeku
Agar detik ini mengkristal dan abadi
Bisakah hari berhenti berlari
Agar ku tetap ada didekatmu

Biarkan 1 detik jadi setahun
Aku tak akan merasa bosan
Selama aku, kamu dan kita
Ada.