Apa yang
kupikirkan, adalah apa yang terasa. Apa yang kulakukan adalah apa yang
kuinginkan. Tapi seberapa jauh aku memikirkan dan menginginkan. Aku tak pernah
tahu. Aku tak mengenal lagi siapa aku. Seakan hidup dalam tubuh yang tak
kukenali wujudnya sendiri. Aku marah, aku kecewa, tapi pada apa dan pada siapa
aku tak tahu. Apakah marah yang marah atau marah yang resah ? Kupupuk benci kutanam
gelisah. Kusuburkan semua dendam dan benci.
Kebencian yang tulus, kemarahan yang terabaikan. Kecewa pada apa ? Marah
pada apa ? Marah pada marah yang tak terjemahkan. Hatiku sepi, jiwaku beku. Apa
marah cairkan resah atau marah gumpalkan dendam ? Caci diri sendiri lalu
mengasihani. Murka pada kemunafikan yang
dijalani. Dosa yang dinikmati. Dosa yang dihormati. Dimana arah ? Dimana peta ?
Penyangkalan buahkan bimbang. Pembenaran hanya sekedar dusta murahan. Ucap kata
tak lagi bermakna, hanya siulan hati yang ragu, hanya jawaban yang beranak
tanya. Tanya yang patah, tanya yang asal keluar. Menanyakan apa yang sudah terjawab.
Mempertanyakan jawaban. Tanya tak membutuhkan jawaban. Tanya hanya mengharapkan
keajaiban. Tanya adalah ilusi. Tanya adalah kesia-siaan. Tanya adalah hati yang
pasrah bercampur putus asa. Pada siapa harus mengadu. Pada siapa harus
bertanya. Sementara jawab hanya terjawab oleh terka. Kenyataan yang
dipertanyakan. Kenyataan yang tak bisa diterima. Kenapa harus nyata bila ada
hal lain yang mungkin. Kenapa harus benar bila ada yang tak perlu pembenaran.
Lurus atau melenceng, apa hanya perkara dapat atau kehilangan. Berapa waktu
harus ditempuh ? Berapa tanya harus terjawab, berapa siksa harus didera. Darah
dibayar darah, luka dibayar nestapa. Apakah semua cuma tentang balas dendam ?
Apakah semua cuma tentang timbal-balik ? Lalu mengapa tercipta kata adil, keadilan,
mengadili atau diadili ? Dimana kebebasan jika belenggu ditawarkan ? Dimana
kebebasan jika balasan diancamkan ? Dimana kebebasan jika tak pernah ada
kebebasan. Dimana ?
Perlahan kulangkahkan semua harap,
dan semua yang belum terungkap. Disekitarku tawa saling memaki, senyum hampa
penuhi udara, atmosfir yang pekat, penuh dengan bau busuk yang khas. Busuknya
luka, busuknya kebohongan, busuknya harapan yang digerogoti oleh
belatung-belatung berwarna putih kekuningan, yang dengan rakus melahap sisa-sisa
harapan rombeng yang penuh tambalan disana-sini. Tidak ada lagi pekik
kemenangan. Tidak ada lagi air mata yang mengalir seiring dengan rasa sakit
yang tak terperi. Hanya kebisuan. Pasrah dari segala pasrah manusia. Diam yang
diam. Harapan yang tanpa harap. Sesekali terdengar isakan perlahan. Tapi tidak
ada air mata. Yang ada adalah cairan hitam busuk yang mengalir disela mata.
Deras turun membasahi pipi, hidung, lalu bertemu dengan mulut yang sama
busuknya. Tubuh-tubuh telanjang. Daging-daging yang lapar. Jiwa-jiwa yang
rapuh. Langkahpun kini kian tak berarah. Antara maju, mundur atau diam statis.
Seperti jalan ditempat tapi tak bergerak. Perintah otak yang cacat saat
diterjemahkan oleh sensor motorik. Informasi cacat itu mengendap di Amigdala.
Sang sumber segala takut. Segala siksa.
Aku hanya ingin rebah sejenak. Lalu
rebahlah. Diatas rumput kering. Kucari tempat yang bebas dari tahi, dari lalat,
atau benda-benda yang mengingatkanku pada bau keringatnya. Awan mendung
lindungi dari matahari. Sisa cahayanya yang menembus awan hanya mampu menuduh
lemah. Kuberanikan diri menatap tegak keatas. Takut yang nyata merayap. Langit
biru seperti samudera maha luas. Siap menenggelamkan siapa saja yang tak punya
pegangan. Tak ada pelampung penyelamat. Nafasku terasa sesak dan nyeri. Tubuhku
menggigil, lagi-lagi karena takut yang janggal. Hanya beberapa menit kusanggup
menantang langit. Aku terisak. Merasa kecil dan kalah. Kecewa pada kelemahan
mata. Mata yang selalu mencari, mata yang selalu mengimpi. Mata-mata yang haus
warna, yang mulai bosan dan usang dengan segala yang hitam-putih. Putih
bukanlah lambang kesucian, putih hanyalah kalah dan tanpa sikap, munafik.
Lihatlah hitam. Kepekatannya begitu nyata. Menghisap semua cahaya kearahnya.
Hitam bukan kelembutan yang lemah. Berilah setetes warna putih maka kan tertelan musnah.
Atau banjiri dengan luapan putih, takkan hilang hitam, putih akan keruh,
abu-abu dengan nuansa hitam yang tak pernah lenyap. Hitam adalah keabadian.
Hitam adalah selimut. Hitam tak kenal basa-basi. Hitam adalah berani jujur
meski dicap terkutuk.
Aku kembali melangkah, kepalaku
pusing, nafasku sesak, ribuan pertanyaan melawan sejuta kenyataan. Aku harus
tetap melangkah, karena mungkin dalam hidup, manusia harus tetap melangkah,
entah itu bertujuan atau tanpa arah, tetap melangkah, meski buta dan tanpa
peta. Mungkin kelak kita berhenti sesaat, sekedar untuk kumpulkan semua
kekuatan dan keyakinan, untuk selanjutnya kembali melangkah, entah langkah yang
tegak, atau langkah tertatih, meski harus ngesot
sekalipun. Hingga saatnya kita nanti berhenti karena kematian menghampiri. Ada juga orang-orang yang
mendahului kematian, orang-orang yang bertumpu pada kecewa dan putus-asa,
mereka berhenti melangkah, mulutnya memaki keras pada langit hingga suaranya
parau, lalu mereka menangis, bertanya-tanya pada kenyataan yang tak berpihak.
Mengutuk mimpinya yang tak kunjung nyata. Mengutuk roda-roda nasib yang
tersendat tak bergeming, menghimpitnya dibawah duka nestapa. Tatapan matanya
kosong, seperti mengimpi tentang kematian yang enggan menghampiri. Doa mereka
sama, doa-doa kosong.. Menantang Izrail tuk mencabut nafas terakhir, tapi saat
nafas terakhir sudah ditenggorokan, beberapa dari mereka diserang ketakutan
yang sangat hebat, jiwa mereka bergetar gentar. Kematian bagi jiwa-jiwa seperti
mereka tak mendatangkan damai. Kematian mereka tanpa keyakinan, mati dalam
keadaan bosan. Sesal menambahkan luka-luka yang dalam, bahkan saat hidup itu
sendiri telah pergi. Dan tak ada jalan untuk kembali.
Aku tersentak dari pikiran tentang
kematian. Seperti tertampar oleh kenyataan bahwa aku mungkin bagian dari
orang-orang yang akan mati bosan. Aku bergidik. Matahari kini tepat diatas
kepala. Cahayanya membakar kulitku yang tak terlindungi. Aku tak menantang
matahari, aku hanya mencari Tuhan. Aku ingin mengadu, aku ingin bertanya.
Seperti Musa di gunung Sinai, yang gemetar karena tak mampu berhadapan dengan
keberadaan-Nya. Apakah jiwa yang resah adalah domba-dombaNya yang sesat, atau
jiwa-jiwa yang resah adalah jiwa-jiwa pemimpi, yang diberkati untuk mencium
nafas surgawi lalu jatuh dalam kerinduan yang dalam.
April 19, 2007